kronologis bagaimana PT. Bimo Taksoko Gono (PT. BTG) menguasai lahan 35 hektar di Desa Pemalongan, Kec. Bajuin, Kab. Tanah Laut

kronologis bagaimana PT. Bimo Taksoko Gono (PT. BTG) menguasai lahan 35 hektar di Desa Pemalongan, Kec. Bajuin, Kab. Tanah Laut:

1. Awal Penguasaan Lahan (2005):

Pada tahun 2005, PT. BTG, yang dimiliki oleh Bambang Tri Gunadi, mulai menguasai lahan di Desa Pemalongan dengan membeli lahan dari masyarakat penggarap. Proses ini melibatkan pembayaran ganti rugi untuk total 53 hektar tanah: 42 hektar pada 10 Januari 2005 (dengan 21 surat sporadik) dan 11 hektar pada 9 April 2005 (dengan 6 surat sporadik).

2. Pengembangan Infrastruktur dan Perjanjian dengan Masyarakat:

Setelah pembelian tanah, PT. BTG membuat perjanjian dengan masyarakat setempat untuk memanfaatkan lahan tersebut guna pembangunan jalan tambang sepanjang 5 kilometer dan lebar 10 meter. Ini dilakukan untuk mempermudah pengangkutan bijih besi dari lokasi tambang. Selain itu, PT. BTG juga melakukan pekerjaan pengupasan dan penggalian lahan, mengungkapkan bijih besi yang sebelumnya tersembunyi, serta memberdayakan masyarakat setempat dengan membuka lapangan pekerjaan

 3. Masalah Izin dan SPKP

Pada tahun yang sama, PT. BTG mengajukan izin KP (sekarang IUP), namun ditolak karena lahan tersebut sudah terdaftar atas nama Perusahaan Daerah Aneka Usaha Manuntung Berseri (PD AUMB), yang kemudian berganti nama menjadi PD Baratala Tuntung Pandang. Meskipun demikian, PT. BTG masih diberikan Surat Perintah Kerja (SPK) oleh PD AUMB untuk terus melakukan penambangan dari tahun 2005 hingga 2020.

4. Pengurusan Izin dan Dokumen:

PT. BTG mengeluarkan biaya untuk pengurusan berbagai dokumen yang diperlukan, termasuk AMDAL, IPPKH (Izin Pinjam Pakai Kawasan Hutan), dan perpanjangan izinnya, untuk mendukung kegiatan penambangan di lahan tersebut. Hal ini menunjukkan bahwa PT. BTG berupaya memenuhi persyaratan legal untuk melanjutkan operasinya.

5. Pembangunan Infrastruktur Tambahan:

Di tahun-tahun berikutnya, PT. BTG membangun infrastruktur pendukung tambahan, seperti pondasi jalan sepanjang 10 kilometer menuju tempat penumpukan bijih besi dan fasilitas pengolahan di Desa Gunung Melati dan Desa Sumber Mulya. Proyek ini memakan biaya sekitar Rp. 7 miliar.

6. Kegiatan CSR dan Hubungan dengan Masyarakat:

PT. BTG juga menjalankan program CSR, termasuk pembangunan masjid dan pembayaran fee desa, serta melakukan berbagai kegiatan lain yang mendukung kesejahteraan masyarakat sekitar. Dukungan dari masyarakat Desa Pemalongan terhadap PT. BTG terlihat pada surat pernyataan yang mengakui keberadaan dan aktivitas perusahaan sejak tahun 2005.

7. Perselisihan dengan PD Baratala Tuntung Pandang:

Meskipun PT. BTG telah banyak berinvestasi dan memenuhi berbagai kewajiban terkait pengelolaan lahan, sejak perpanjangan IPPKH pada 15 Oktober 2020, PT. BTG tidak lagi menerima perpanjangan SPK. Pada Maret 2021, Diduga PD Baratala Tuntung Pandang justru mengeluarkan Purchase Order (PO) kepada PT. BTG untuk pekerjaan penambangan, diduga  pekerjaan ini kemudian diambil alih oleh PD Baratala Tuntung Pandang yang bekerja sama dengan perusahaan lain tanpa melibatkan PT. BTG lebih lanjut.

8. Tuntutan Pembayaran dan Pengakuan Hak:

PT. BTG mengklaim hak pembayaran atas berbagai biaya yang telah dikeluarkan untuk pengelolaan lahan dan infrastruktur, termasuk fee jasa pengolahan dan fee lahan tambang. Hingga saat ini, PT. BTG menuntut pembayaran sebesar Rp 8,888 miliar dari PD Baratala Tuntung Pandang atas aktivitas dan penggunaan fasilitas yang sudah dilakukan.

9. Kesimpulan:

Mengingat berbagai investasi, upaya pemenuhan persyaratan legal, serta dukungan dari masyarakat setempat, PT. Bimo Taksoko Gono merasa layak untuk terus mendapatkan perpanjangan SPK dan melanjutkan aktivitas penambangan di lahan yang telah mereka kuasai sejak tahun 2005.

Dengan demikian, kronologis ini menggambarkan bagaimana PT. BTG menguasai lahan dan menghadapi berbagai tantangan administratif serta hukum untuk mempertahankan hak pengelolaannya atas lahan tersebut. (BTG)